Tidak ada satupun orang yang
tidak pernah kecewa. Mereka semua merasakan hal yang sama. Sakit, benci, sedih
dan menyesal. Semua perasaan tersebut menjadi satu. Tak jarang ada yang bahkan
ingin berniat membunuh orang yang membuatnya kecewa. Mencaci maki tiada henti.
Dendam yang terus menerus di pupuk. Hingga pada akhirnya, mereka tidak sadar
kalau sedang merusak diri sendiri karena berawal dari rasa kecewa yang tidak
kunjung diobati.
Kalau kita berpikir dan merenung
sejenak. Mengapa Tuhan mengirimkan utusan yang hampir di setiap tahapan kehidupannya
selalu mendapatkan masalah yang luar biasa? Dicaci, dibenci, diasingkan dan
diperangi sudah menjadi tantangan tersendiri bagi para utusan Tuhan. Pantaslah
jika Tuhan mengirimkan mereka sebagai contoh yang baik bagi para
hamba-hambaNya.
Tetapi.. apakah kita mau
meneladani sifat dan sikap para utusan di dalam kehidupan kita?
Pertanyaan yang sangat sederhana
namun berat jika dilakukan. Ya.. tidak ringan dilakukan karena banyak faktor
yang dapat kita jadikan ‘Alasan’. Alasan-alasan yang selalu kita jadikan tameng
untuk menjadi makhluk Tuhan yang kehidupannya lebih baik, damai, penuh makna
serta terhindar dari hal-hal buruk yang dapat menimpa. Padahal jika kita kupas
satu persatu dalam sudut pandang psikologi, kita akan temukan bahwa memang
alasan-alasan tersebut menjadi hancurnya kehidupan kita yang lebih baik dan
terhindar dari rasa kecewa yang berkelanjutan.
Ada dua kategori manusia yang dilihat
dari aksi mereka, yaitu manusia yang bergelar MA. Manusia pertama yang bergelar
MA lebih cenderung dinilai negatif. Kehidupannya pun tidak berkembang dan
selalu menganggap ada masalah dibalik peluang-peluang hebat untuk menyembuhkan
diri sendiri. Manusia ini adalah ‘Master
of Alasan’. Sedangkan manusia kedua, juga memiliki gelar MA tetapi cenderung
dinilai positif dan produktif. Kehidupannya penuh makna, mampu menemukan solusi
diblaik masalah-masalah yang ia hadapi dan tipe orang yang dapat menyembuhkan
dirinya sendiri diantara rasa sakit yang kemudian menjelma menjadi rasa kecewa.
Manusia ini adalah ‘Master of Action’.
Dalam psikologi, apabila kita tidak
melakukan apa-apa ketika mendapat masalah, maka beban-beban masalah tersebut
akan menumpuk terus menerus. Beban masalah yang menumpuk dapat membuat orang
memiliki pandangan negatif pada orang di sekitarnya. Walhasil, kepercayaan,
ketulusan, keikhlasan, kesabaran serta kesejatian dari orang-orang di
sekitarnya tidak dapat mereka lihat. Berganti dengan kekecewaan yang mendalam,
merasa tidak butuh pertolongan, ruwet
pikirannya, berpikir subjektif serta tidak mampu untuk membuka pikirannya pada
kemungkinan-kemungkinan lain. Seringkali merasa ketakutan dan hatinya kecil.
Beban masalah menjadi sangat
ringan apabila kita mau untuk saling memahami orang lain. Mengerti akan kondisi
diri sendiri yang butuh akan support
dari orang-orang sekitar. Jangan pula membatasi diri pada
kemungkinan-kemungkinan baik yang hadir walau itu sebatas sapaan dan senyuman
dari orang-orang sekitar. Cari sisi lembut dari setiap orang karena tidak ada
manusia yang tidak memiliki sisi lembut. Mereka semua memperjuangkan apapun
yang diyakininya untuk menolong orang-orang yang disayanginya lalu mendoakan
mereka lekas menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.
Percaya atau tidak, jika kita
memahami satu sama lain lalu mampu bersikap yang tepat serta tidak menuntut orang
lain untuk memahami kita tetapi menuntut diri kita sendiri memahami orang lain
walau pernah sakit hati, Tuhan akan mendatangkan kebaikan dan rizki dari pintu
mana saja. Tidak harus langsung kita terima. Bisa jadi Tuhan memberikannya
melalui perubahan orang yang kita sayangi menjadi lebih baik.
0 Komentar untuk "Mengobati Rasa Kecewa "