Setiap manusia pasti pernah mengalami kesulitan atau masalah dalam hidupnya. Tapi apakah kemudian kita hanya diam dan bersembunyi dibalik kata sabar dan tegar? Ah, saya pikir tentu tidak. Tentu kita akan berusaha untuk bangkit dan menata hidup kita kembali. Nah, kemampuan seseorang untuk bertahan menghadapi kesulitan hidup biasa kita sebut dengan resiliensi. Namun untuk bangkit dan menata kembali hidup, kita perlu sesuatu yang disebut Adversity Quotient (AQ).
Apa itu Adversity Quotient?
Adversity Quotient ini diperkenalkan oleh P. Stoltz pada tahun 1997. AQ merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup, berusaha, berjuang dan tetap bertahan hidup.
Berbicara tentang Adversity Quotient, ada sebuah kisah dari desa terpencil tentang seorang ibu yang divonis stroke oleh dokter.
Banyak orang di desanya yang sudah divonis stroke oleh dokter dengan berbagai macam sebab. Ia yang sejak remaja hidup dalam kekurangan dan sering memendam amarahnya pun divonis stroke juga. Ketika pulang dari mushola, ia mengeluh sakit di tengkuk pada suaminya. Ia berpikir mungkin hanya karena kelelahan. Namun di hari berikutnya, selain merakan sakit di tengkuk, kaki kanannya mulai susah digerakkan sehingga ketika berjalan sedikit diseret. Ia juga merasakan tangan kanannya tidak kuat menggenggam lagi. Suaminya pun akhirnya menghubungi seorang mantri desa. Mantri desa kemudian menyarankan agar sang ibu dibawa ke rumah sakit.
Singkat cerita, setelah tiga hari menginap di rumah sakit, sang ibu memaksa minta pulang. Bukan karena apa, ia kasihan melihat anaknya yang baru duduk di kelas empat SD sibuk menungguinya. Sedih? Tentu saja. Anaknya masih kecil, masih butuh ibunya. Apalagi setelah menerima raport anaknya. Nilai-nilai anaknya turun drastis karena tidak pernah lagi didampingi ketika belajar. Tetangga-tetangganya yang sama-sama divonis stroke ada yang lumpuh bahkan meninggal dunia. Namun hatinya kukuh untuk sembuh. Meski tangan dan kaki kanannya sangat sulit digerakkan, ia bertekad untuk menjalani berbagai terapi demi anaknya yang masih kecil. Tak hanya satu terapi saja, ia menjalani terapi akupuntur sampai meminum berbagai obat herbal yang disarankan oleh teman suaminya. Waktupun berlalu, setelah hampir dua tahun tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, akhirnya ia bisa kembali memasak untuk anak dan suaminya. Ia pun bisa kembali mendampingi anaknya belajar.
Nah, kisah di diatas merupakan salah satu contoh dari Adversity Quotient. Tentu masih banyak lagi kisah-kisah inspiratif dari orang-orang yang memiliki Adversity Quotient. Bangaimana denganmu?
0 Komentar untuk "Adversity Quotient dalam Kehidupan"